Dari Bagian 3
Aku gemetaran saat merasakan lidahnya mulai menjilat celahku. Lidahnya
menekan ke dalam vaginaku dan memukul-mukul ke atas menyebabkan getaran
yang sangat indah ketika diseret melewati kelentitku.
"Oh, Tuhan, ya, ya ya."
Dia membenamkan wajahnya ke dalam vaginaku, lidahnya manari di dalamnya.
Dia mulai menggosok kelentitku seiring dengan jilatannya pada vaginaku.
Aku mendorong pinggulku menekannya, menggeliat di atas meja.
Kulingkarkan kakiku di lehernya, lebih mendorongnya padaku. Aku melihat
dia menguburkan wajahnya ke dalam vaginaku semakin dalam. Aku mendengar
bunyi dia menghirup, menghisap cairanku.
"Oohh." aku menjerit dan menggelinjang. Aku mendapat sebuah orgasme yang
sangat indah. Ini membuatnya bekerja lebih keras pada vaginaku,
sekarang mengisap kelentitku ketika jarinya disodokkan ke dalam
vaginaku.
Aku merasa seperti terbakar. Sekujur tubuhku terasa geli. Vaginaku
sedang diregangkan. Aku tahu bahwa dia sedang menekan jari yang lain ke
dalam vaginaku. Ketika vaginaku pelan-pelan menyerah kepada jari yang
ditambahkannya, aku tahu apa yang berikutnya. Aku menginginkan itu. Aku
ingin merasakan penis besarnya di dalamku. Aku tahu dia perlahan
menyiapkan aku untuk itu.
"Martin. Aku menginginkannya. Aku menginginkan kamu. Aku takut itu terlalu besar tapi aku menginginkan itu."
"Jangan takut Lusi. Aku sangat lembut." Dia mengangkatku, membawa aku menuju sebuah kamar.
Aku melingkarkan lenganku padanya. Aku menciumnya sepanjang jalan menuju
kamar, menghisap lidahnya, mendorong lidahku ke dalam mulutnya. Dia
menempatkanku di atas tempat tidur, mengambil sebuah gel pelumas dari
lemari kecil di samping tempat tidur
"Buka kakimu melebar," dia berkata saat menekan pelumas dari tabungnya kemudian menggosokannya ke dalam vaginaku.
Terasa dingin, dan dia menyelipkan dua jari ke dalam vaginaku. Mereka
masuk dengan mudah. Aku memegang tangannya dan membantu jarinya bekerja
di dalam vaginaku.
"Sekarang giliranmu." dia berkata saat berbaring pada punggungnya.
"Lumasi mainanmu." dia tersenyum.
Aku melihat pada penisnya. Itu masih terlihat sangat besar buatku. Masih
setengah ereksi. Itu terletak lurus ke arah kepalanya, kepala penisnya
sampai menyentuh pusarnya. Aku menyemburkan gel ke penisnya, membuat
sebuah garis zig-zag sepanjang batangnya, seperti menghias sebuah kue
pikirku. Dia tertawa. Aku mulai menyebarkan gel dengan jari tengahku.
Penisnya terasa hangat, jariku menekan ke dalam daging itu.
Saat aku menjalankan jariku naik turun pada batangnya, aku merasa
penisnya menjadi lebih keras. Aku menyukai itu. Aku menyukai menjadikan
penisnya keras. Aku menggenggam penisnya dengan ibu jari dan jari
tengahku, menekan gel lebih banyak lagi dan melumuri seluruh penisnya.
"Ke atas." dia menginstruksikan. Aku memandangnya.
"Kamu ke atas, dengan begitu kamu dapat mengendalikan penisku. Gosok
saja ke vaginamu, bermainlah dengan itu, lakukan pelan-pelan."
Aku mengayunkan kakiku di atasnya, mengangkanginya, aku menunduk untuk menciumnya.
"Itu terasa nikmat. Gosokkan puting susumu yang keras padaku. Gesekkan vaginamu sepanjang penisku."
Lengannya melingkariku, menarikku mendekat, dengan lembut tetapi kuat,
memaksa puting susuku ke dadanya. Puting susuku jadi sangat keras dan
sensitif. Aku menggerakkannya pelan-pelan maju-mundur, membelainya
dengan puting susuku dan menikmati kehangatan dari badannya. Aku bisa
merasakan penisnya beradu dengan pantatku. Aku bergerak mundur untuk
membiarkan penisnya meluncur diantara kakiku.
Aku bisa merasakan batang itu meluncur sepanjang bibir vaginaku. Tidak
menembus, aku hanya menggesek naik turun batang yang keras itu,
menikmati sensasi yang baru ini dari penis keras dan besar yang menekan
ke dalam bibir vagina telanjangku, menikmati rasa dari puting susuku
yang menyentuh sepanjang badannya. Kemudian dia mendorongku kembali pada
posisi duduk.
"Masukkan Lusi."
Aku mengangkat batang tebal itu dan menggosok kepalanya pada vaginaku,
kemudian menekannya berusaha untuk memasukkannya. Aku melihat kepala
yang tebal membelah bibirku hanya untuk menyeruak masuk dalam lubangku.
"Oh Tuhan, Martin, ini terlalu besar. Aku tidak akan pernah dapat menampungnya di dalamku."
Dia menempatkan satu jari di dalam vaginaku dan pelan-pelan mulai
mengocok jarinya saat aku tetap memegangi penisnya. Saat aku mengamati,
aku lihat dia dengan lemah-lembut menekan jari keduanya ke dalam vagina
basahku. Aku bisa merasakan peregangan dan mulai 'mengendarai' jarinya.
Kemudian dia memasukkan jari yang ke tiga, memutar jarinya saat dia
meregangkan vaginaku. Kemudian dengan sebuah gerakan lembut, dia menarik
jarinya, memegang tanganku yang sedang menggenggam penisnya dan
menuntunnya ke arah lubangku yang sudah membuka.
"Lakukan sekarang Lusi. Duduk di atasnya. Vaginamu telah siap, biarkan saja masuk."
Aku melakukannya. Ketakutanku bahwa itu akan menyakitkan lenyap saat aku
merasa kepalanya membelah vaginaku. Dibandingkan rasa sakitnya, aku
mendapatkan rasa yang sangat nikmat dari tekanan pada vaginaku. Sebuah
perasaan menjadi terbentang dan diisi. Dia mulai memompa ke dalamku
dengan dorongan dangkal, setiap dorongan menekan masuk semakin ke dalam
vaginaku. Penisnya nampak bergerak lebih dalam dan semakin dalam,
menyentuhku di mana aku belum pernah disentuh. Kemudian aku sadar bahwa
penisnya sedang memukul leher rahimku.
Sekarang penisnya terkubur di dalamku dia menggulingkan aku, menarik
kakiku pada bahunya. Aku belum pernah membayangkan bagaimana erotisnya
ini, melihat dan mengamati penis yang besar pelan-pelan meluncur keluar
masuk tubuhku. Tetapi kemudian, aku menjadi lebih terbakar pada setiap
hentakan.
"Oh Tuhan! Oh ya! Setubuhi aku! Lebih keras Martin lebih keras."
Dia mulai ke menyetubuhiku lebih cepat, lebih keras, dengan sela
sebentar-sebentar saat penisnya dikuburkan dalam di dalamku. Dan setiap
kali dia berhenti dengan penisnya jauh di dalamku, aku akan menggetarkan
diriku ke dia sampai akhirnya aku mendapatkan orgasme keduaku hari ini,
Sebuah orgasme yang hebat sekali! Dan aku ingin lebih. Dan aku senang
merasakan penisnya masih keras, masih menyetubuhiku.
"Gadis baik, Lusi. Lepaskanlah."
"Oh Tuhan ya."
"Kamu menyukainya kan sayang, suka sebuah penis yang besar mengisi
vagina kecilmu yang ketat." dia kini menyetubuhiku dengan hentakan yang
panjang dan kuat.
"Oh ya, benar, betul. Setubuhi aku. Kerjai vaginaku. Setubuhi aku, setubuhi aku, setubuhi aku."
"Aku akan keluar di dalam tubuhmu. Katakan kamu ingin spermaku."
"Ohh Tuhan, aku ingin kamu orgasme, aku mau spermamu. Ohh itu sangat
besar. Rasanya nikmat. Ya, keluarlah! Oh brengsek, aku orgasme lagi
Martin. Setubuhi aku dengan keras. Kumohon, lebih keras."
Ia mengerang, menghentikan kocokan penisnya keluar masuk, dan hanya
menguburkan dirinya sangat dalam di vagina basah panasku. Ia
mengandaskan dirinya ke dalamku dan aku tahu dia sedang orgasme. Aku
berbalik menekannya, berusaha untuk mendapatkan penisnya
sedalam-dalamnya padaku. Kemudian aku keluar lagi. Ombak kesenangan yang
sangat indah menggulung seluruh tubuhku.
Aku merasa tubuhnya melemah, tapi dia tidak mengeluarkan penisnya
dariku. Aku pikir aku bisa merasakan penisnya melembut di dalam vaginaku
sekalipun begitu vaginaku masih terasa nikmat dan penuh, sangat hangat
dan basah. Aku menunjukkan padanya dengan sebuah ciuman.
Kami hanya rebah di sana. Aku tahu aku sedang 'terkunci'. Aku bisa
merasakan sedikit rasa bersalah yang merambat ke dalam pikiranku tapi
aku tahu bahwa aku menyukai disetubuhi oleh penis yang besar. Aku tahu
aku menyukai berkata kotor. Kemudian gelembung itu nampak meretak.
"Baiklah, apa pendapatmu tentang Lusi? Apa Marty terasa manis seperti kelihatannya?" Silvi, berdiri di pintu.
"Astaga.. Silvi.. A.. Aku.." aku masih belum dapat menggambarkan semua
ini. Semua yang bisa kupikir adalah bahwa aku baru saja tidur dengan
suami perempuan lain.
"Lusi, tenang sayang." Silvi memotongku.
"Aku tidak marah. Aku senang melihat kamu telah menyadari kalau kamu suka penis yang besar." dia tersenyum.
"Andai aku bisa tinggal untuk menyaksikan keseluruhan peristiwa ini tapi
kami pikir kamu akan jadi lebih nyaman dengan cara begini."
"Sebagian orang tidak menerima seks hanya untuk kesenangan tetapi Silvi
dan aku sudah menemukannya berhasil untuk kami. Dia pikir kalaua kamu
adalah seorang perempuan yang sedang kekurangan kesenangan maka kami
piker kenapa tidak membuka pintu dan melihat jika kamu ingin masuk. Aku
berharap kamu tidak marah. Aku berharap kamu akan kembali." Martin
menggulingkan aku dan kini membelai badanku saat dia dan Silvi bicara.
Aku mencoba untuk katakan sesuatu, "Aku bukan perempuan seperti itu. Ini
adalah sebuah kekeliruan. Aku kira kita harus melupakan kalau ini
pernah terjadi." tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutku. Aku
hanya meraih dan membelai penis Martin yang besar dan lembut. Silvi
duduk di tempat tidur, menciumku pelan.
"Berbagi adalah menyenangkan Lusi. Dan kita semua adalah 'pelacur kecil' jauh di dalam bawah sana, ya kan?"
'Pelacur' kata itu berderik di dalam pikiranku. Tuhan, aku adalah
seorang pelacur, ya kan? Dan aku tidak peduli, aku hanya tahu bahwa aku
ingin berhubungan seks dengan penis yang besar ini lagi.
*****
Maka begitulah bagaimana cerita ini bermula. Tom yang malang tidak tahu
kenapa aku berteman baik dengan Martin dan Silvi. Tom masih suka
berhubungan badan tiap seminggu sekali atau dua kali tetapi aku masih
susah merasakan dia di dalamku.
E N D